THEY WANTS ME TO STAY
Rasanya seperti baru kemarin aku menginjakan kaki di Munasighe House. Namun kemarinku itu ternyata telah terhitung empat tahun. Selama itu jugalah aku menjadi pendengar setia mereka, dari cerita tentang sekolah, teman-temannya, dan apapun yang mereka rasakan. Terkadang aku kualahan mendengar ketiganya berebut untuk bercerita, namun aku menikmati hal itu. Seolah hanya aku pendengar terbaik bagi mereka. Terlepas statusku yang hanya seorang pembantu, Miki, Elana, Maya, sudah kuanggap seperti adik-adikku sendiri. Merekapun sebaliknya kepadaku. Begitu indah kuasa Allah, yang mengikat hubungan kami semua yang bukan siapa-siapa menjadi dekat.
Tidak jarang mereka memuji masakan yang kusediakan. Namun jika menunya sayu mayur aku perlu membujuk mereka untuk memakannya. Sudah hampir satu jam aku menunggui mereka di meja makan. Jika aku terus mendengarkan mereka bercerita entah butuh berapa jam lagi makanan di meja itu akan habis.
Tidak jarang mereka memuji masakan yang kusediakan. Namun jika menunya sayu mayur aku perlu membujuk mereka untuk memakannya. Sudah hampir satu jam aku menunggui mereka di meja makan. Jika aku terus mendengarkan mereka bercerita entah butuh berapa jam lagi makanan di meja itu akan habis.
“Finish your food, guys! I am going to check my laundry and I will be right back.” Ucapku kepada mereka.
Dari belakang aku mendengar suara berisik di dapur, aku tau persis apa yang sebenarnya terjadi. Mereka sedang berusaha untuk menyembunyikan makanannya dibalik piring-piring kotor yang belum sempat kucuci.
“Do you think I don’t know what you guys trying to do?!” Teriakku dari belakang.
“Not meee…” Jawab mereka hampir serentak.
Aku kembali ke dapur. Tampak ada beberapa butir nasi yang berjatuhan di lantai dan meja. Tidak ada yang mengaku ketika kutanya siapa yang telah melakukannya. Aku menyuruh mereka memunguti nasi yang berjatuhan itu dan menghitungnya. Sebagaimana peraturan yang sudah ditetapkan, sebutir nasi sama dengan sepotong brokoli sebagai ganti. Aku menyiapkan brokoli dengan jumlah nasi yang mereka jatuhkan. Aku tau mereka sangat membenci hal itu. Tapi peraturan tetap peraturan, bukan?
“It has to be finish!” Ucapku tegas sembari menaruh piring berisi brokoli ke hadapan mereka.
“Sorry… Windu.” Miki meminta maaf.
“Apologies accepted, but still... these broccoli are for the punishment. So all of you have to eat it!” Jawabku.
Suasana dapurpun senyap seketika. Aku mendekati wastafel lalu mencuci perabotan yang kotor. Dari balakang Maya menarik-narik bajuku, dia merengek supaya aku memaafkannya lalu membebaskan mereka dari hukuman memakan brokoli rebus tersebut. Aku hanya tersenyum tanpa menoleh. Maya tidak menyerah dari rengekannya, dia terus menarik-narik bajuku. Aku menyuruhnya duduk, kuikuti dari belakang perabotan kotor kutinggalkan. Aku duduk bersama mereka, lalu memberinya sedikit ceramah tentang orang-orang diluar sana yang kekurangan makanan dan perlu berjuang keras untuk bisa menikmati sebutir nasi. Lantas sebuah pilihan kuajukan pada mereka, pilihan yang sangat mereka takuti;
“Actually you know what, it’s easy for me… you want to follow my rules or you want a new helper?”
Mereka diam tak bersuara, perlahan brokoli di atas piring pun mulai hampir habis. Aku melirik mereka dari tempatku berdiri di depan wastafel, seperti ada yang menggelitik. Aku tersenyum melihat tingkah mereka yang terkadang lucu. Mereka menginginkanku berada di Munasinghe House selamanya. Lah, trus gue nikahnya kapan? *eh
“We already finished, Windu. So you have to stay with us forever.” Ucap Miki.
“Yea Windu, you have to! Now can we leave the table?” Ucap Maya kemudian.
Aku masih tersenyum, kini kutambahi senyumanku dengan geleng-geleng kepala. Mereka membuatku merasa lucu. Kuusap-usap kepala mereka dan menyuruhnya meminum air putih.
“After drink the water, go to shower!”
Perintahku kepada mereka.
Comments
Post a Comment